KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis
penjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah yang berjudul “Dialog filsuf muslim dan filsuf barat (dialog
antar ilmu”. Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah FILSAFAT.
Dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada bapak Drs. Muallim Mukhtar, S.Ag., SE., M.Pd selaku dosen serta teman-teman semua.
Penyusun
menyadari keterbatasan sebagai manusia.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penyusun berharap kritik dan
saran yang sifatnya membangun guna perbaikan makalah ini. Akhir kata
semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
Tangerang, 20 Oktober 2013
Penulis
KATA PENGANTAR
…………………………………………………………………….
DAFTAR ISI
………………………………………………………………………………
BAB I. DIALOG FILSUF MUSLIM DAN FILSUF BARAT
(Dialog
Antar Ilmu)
1.1
Pendahuluan
………………………………………………………………………….
1.2
Kemungkinan-Kemungkinan Menuju
Dialog ……………………………………….
1.3
Bentuk Dialog Antar Ilmu ….……………………………………………………….
1.4 Dialog Ilmu
Pengetahuan (sains) dan Islam …………………………………………
BAB II. PENUTUP……………………………………………………………….………
BAB III. DAFTTAR PUSTAKA………………………………………………………….
1. Pendahuluan
Sebagaimana diketahui ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan proses
kesadaran manusia yang memiliki karakter tersendiri. Dikatakan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, oleh karena
proses kesadaran ini yang semula berjalan secara spontan dan langsung tiba-tiba
menggumpal dalam pusaran reflektif, sedemikian rupa sehingga serpihan-serpihan
data sensorial yang semula berserakan (raw data) tanpa struktur
tiba-tiba tersusun menjadi ornamen pengetahuan yang sistematis dan teruji.
Tentu saja bila kita kaji lebih dalam lagi,
proses sistematisasi ini melibatkan aparat kognisi terutama untuk mengatur arus
penalaran logis. Sedemikian rupa sehingga data-data empiris yang memperoleh
status premis-premis akan dimasukkan ke gerbong proposisi-proposisi untuk
selanjutnya diantarkan menuju ke terminal kesimpulan yang tepat dan benar.
Dengan melalui perkembangan evolusitnya, ilmu
pengetahuan kemudian berjalan menuju kutub-kutub diversifitas yang saling
menjauh untuk kemudian menduduki orbit spesialisasi-spesialisasi yang bersifat
parsial. Konfigurasi peta sains dan teknologi ini pada akhirnya terfragmentasi
ke dalam kepingan-kepingan metodologis tersendiri. Tentu saja keadaan ini pada
gilirannya akan membawa resiko terhadap wawasan dan cakrawala pandang manusia,
sedemikian rupa sehingga implikasi logisnya akan menciptakan potret eksistensi
manusia yang teralienasikan.
Dari
sisi lain, sains dan teknologi yang semula dimaksudkan untuk melayani kebutuhan
manusia, malah justru sebaliknya memperbudak manusia sendiri. Mula-mula dengan
ilmu pengetahuan teknologi, manusia hendak menguasai alam dan sampai
batas-batas tertentu ia berhasil, tetapi ia lupa bahwa ia sendiri adalah bagian
dari alam dan turut terkuasai oleh ilmu pengetahuan. Teknologi berkembang
sendiri dan makin terpisah dari serta jauh meninggalkan agama dan etika, hukum,
ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Manusia makin dilihat terfragmentasi, dan mesin
makin dominan dalam kehidupan manusia. Berbagai macam problem timbul dalam
berbagai bidang, misalnya ekonomi, ekologi, energi, kesehatan, persenjataan,
kekerasan, pengangguran dan lain-lain.
Oleh
karenanya wajar jika ketegangan global terutama terjadinya technostress,
technoanxiety dan lain sebagainya secara tidak langsung bersumber pada
implikasi dan aplikasi wawasan keilmuan yang bersifat parsial dan
segmentaristik ini. Kenyataan ini pada gilirannya tanpa disadari telah
memisahkan misi suci keilmuan dari benua humanitas. Oleh karena itu menjadi
cukup urgens jika dialog antar ilmu segera diselenggarakan.
Selaras
dengan upaya dialog antar ilmu tersebut, maka makalah ini mencoba mengkaji,
sejauh mana kemungkinan terjadinya dialog tersebut?, jika mungkin, bagaimana
bentuk dialog tersebut terjadi?, serta bagaimana implikasi dialog tersebut
terutama bagi wawasan keilmuan Islam?.
2.
Kemungkinan-Kemungkinan Menuju Dialog
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dialog antar ilmu menjadi
agenda jaman yang paling urgens untuk segera diselenggarakan. Hal ini tentunya
terkait dengan kenyataan yang ada dewasa ini, dimana dengan semakin maraknya
perkembangan sains dan teknologi nilai-nilai humanitas secara ironis kehilangan
signifikansinya. Lalu ilmu pengetahuan yang begitu pesat akan meninggalkan
teknologi lunak jauh di belakang teknologi keras. Perkembangan peralatan,
perkakas instrumen, arsifak dan informasi per kapita begitu cepat, sehingga
hukum, etika, agama dan kebijakan politik akan ketinggalan, demikian pula
adaptasi prilaku manusia. Sesuatu yang baru ditemukan dalam laboratorium atau
baru diumumkan dalam forum ilmiah dengan segera dapat diterapkan dalam
masyarakat. Lolos dari laboratorium dapat berakibat lepas dari kendali para
ilmuwan sendiri, padahal etika, hukum dan kebijakan umum belum siap
mengendalikannya. Hal ini yang menggelisahkan para ahli yang sempat merenungkan
evolusi ilmu di masa yang akan datang.
Lepasnya
teknologi dari laboratorium juga dapat mendehumanisasi manusia. Teknologi makin
terpusat dan dalam skala besar, sehingga konsumen tidak banyak lagi pengaruhnya
terhadap proses produksi atau produsen. Makin maju ilmu pengetahuan, makin
terspesialisasi, dan tiap-tiap spesialisasi hanya mengenal dirinya sendiri
semakin mendalam, tetapi tidak banyak mengetahui tentang hal-hal yang
lain diluarnya. Hal ini memfragmentasi manusia dan kehidupannya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi juga dapat mengganti kedudukan manusia sebagai
pekerja dan individu yang utuh, karena pekerjaan rutin akan dikerjakan oleh
mesin dengan lebih teliti, lebih cepat dan lebih berani. Ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat mempunyai akibat sampingan yang tidak terduga dan membahayakan,
misalnya pencemaran, kerusakan lingkungan, termasuk angkasa, karena intervensi
dan eksploitasi yang disengaja terhadap lingkungan yang berulang-ulang dan
secara besar-besaran.
Kenyataan
inilah yang membuat dialog antar ilmu menjadi mendesak untuk diselenggarakan.
Meskipun demikian, tentunya agenda ini memerlukan landasan yang memberikan
kemungkinan bagi diadakannya dialog tersebut. Sedemikian rupa sehingga landasan
asumsi ini dapat memberikan kejelasan bagi pola operasionalisasi dialog
tersebut. Adapun landasan asumtif termaksud tentunya harus berangkat dari
sistem keilmuan itu sendiri, yang pada dasarnya dapat dikembalikan pada tiga
komponennya, yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Landasan
ontologis berkaitan dengan materi yang menjadi obyek penelaah ilmu. Berdasarkan
obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris.
Karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia
yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera
manusia. Adapun relevansinya bagi kemungkinan untuk dapat diadakan dialog antar
ilmu dapat dikatakan bahwa meskipun ilmu berlainan dengan bentuk-bentuk
pengetahuan lainnya, tampaknya masih terikat oleh landasan asumtif ontologis
bahwa diseberang kesadaran diri manusia terdapat realitas empirik yang
terbentang tanpa tergantung pada subyektifitasnya. Asumsi ini biasanya
dijadikan postulasi guna memberi landasan ontologis keilmuan, bahwa:
(1) Dunia itu ada, dan kita dapat
mengetahui bahwa dunia itu benar ada. Dalam ilmu pengetahuan asumsi ini
berarti bahwa adanya “dunia empiris” diterima begitu saja secara apriori.
Setelah ilmu menerima kebenaran eksistensi dunia empiris ini, barulah ilmu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, seperti misalnya: “Bagaimanakah dunia
empiris alam dan sosial itu tersusun?”, dan lain-lain.
(2) Dunia empiris itu dapat diketahui oleh
manusia melalui pancaindera. Dalam ilmu pengetahuan satu-satunya
jalan untuk mendapatkan pengetahuan adalah melalui pancaindera atau mungkin
alat-alat ekstension lainnya sebagai gantinya.
(3) Fenomena-fenomena yang terdapat di
dunia ini berhubungan satu sama lain secara kausal. Berdasarkan atas
postulat bahwa fenomena-fenomena di dunia ini saling berhubungan secara kausal,
maka ilmu pengetahuan mencoba untuk mencari dan menemukan sistem, struktur,
organisasi, pola-pola dan kaidah-kaidah dibelakang fenomena-fenomena itu,
dengan jalan menggunakan metode ilmiahnya.
Landasan epistemologis, berkaitan dengan
masalah proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Proses
ini biasanya disebut sebagai metode ilmiah.Yakni, suatu proses yang mencakup
berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh
pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Dalam
relevansinya terhadap kemungkinan dialog antar ilmu, dapat dikatakan bahwa
meskipun setiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki obyek kajian yang berbeda
satu dengan lainnya (obyek materialnya) dan bahkan mungkin memiliki spesifikasi
penekanan metodis yang berbeda (obyek formalnya). Namun mereka tidak dapat
dilepaskan dari prosedur ilmiah yang bersifat umum, yakni: penentuan masalah,
perumusan dugaan sementara, pengumpulan data, perumusan kesimpulan dan
verifikasi hasil.
Adapun
landasan aksiologis berkaitan dengan manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkannya. Ketika ilmu pengetahuan mulai diterapkan ke
dalam lingkungan biome khususnya kebudayaan manusia, maka ilmu tidak lagi
bersifat netral. Memang persoalan apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai atau
sebaliknya bermuatan nilai masih diperdebatkan. Bagi ilmuwan yang
mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya bebas nilai, ia menyandarkan
pertimbangan nilai hanya pada nilai kebenaran dan mengesampingkan
pertimbangan-pertimbangan nilai metafisika lainnya, seperti nilai etik,
kesusilaan, dan kegunaannya akan sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan
harus bebas nilai.
Sementara
pada ilmuwan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak bebas
nilai, berargumentasi bahwa para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan
adalah produk dari suatu kebudayaan tertentu yang tidak bisa dielakkan. Dalam
mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan tidak menutup kemungkinan para
ilmuwan dipengaruhi oleh gaya pikir (thought style) yang berlaku umum
pada zamannya dan diwilayahnya. Dalam mengamati dengan obyektif sesuatu dalam
lingkungan terjadi hubungan atau interaksi tertentu antara pengamat dan obyek, yang
membuat pengamatan itu menjadi subyektif. Dengan singkat, observasi bermuatan
budaya, dan budaya berevolusi bersama dengan manusia pendukungnya. Observasi
terjadi dalam matrik kultural, dalam anyaman keyakinan dan persangkaan.
Adapun relevansi terhadap kemungkinan
diadakan dialog antar ilmu, maka dapat dikatakan landasan ini memiliki asumsi
yang kuat sekali bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan dikembangkan oleh manusia
yang memiliki karsa, rasa dan cipta yang segala keputusannya pasti bermuatan
nilai, sedemikian juga penerapan ilmu pengetahuan pun demi untuk memenuhi
tuntutan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri yang dalam segenap ekspresi
hidup dan kehidupannya senantiasa terlandasi oleh tata nilai.
3. Bentuk
Dialog Antar Ilmu
Dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang melandasi bagi
berlangsungnya dialog antar ilmu tersebut diatas, maka bentuk dialog tersebut
barangkali dapat bermuara pada: pertama, pada dataran epistemologis ;
dan kedua, pada dataran aksiologis. Pada dataran epistemologis, bentuk
operasionalitas dialog tersebut dapat berupa penggunaan pendekatan metodis yang
bersifat interdisipliner terhadap suatu obyek kajian. Dalam kajian yang
bersifat interdisipliner ini, maka masing-masing pendekatan dikoordinasikan
dalam sektor suplementer. Sehingga dengan kajian yang bersifat koordinatif ini
pengethuan kita terhadap obyek kajian menjadi lebih exhaustive dan comprehensive.
Kajian dengan pendekatan multidisipliner ini untuk menghindari dominasi
memtodis dari salah satu disiplin ilmu tertentu, sehingga keberadaan ilmu yang
lain diabaikan. Menerima superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan
lainnya berarti membenarkan perbudakan terselubung. Hal inilah yang ditentang
keras oleh Paul Feyerabend dalam konsepnya tentang anarkhisme metodis.
Bahwa ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya bentuk pengetahuan yang paling
unggul dibanding dengan bentuk-bentuk lainnya. Seperti halnya Thomas Kuhn, maka
Feyerabend pun mendasarkan sikapnya kepada argumentasi bahwa ilmu-ilmu atau
teori-teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. [9]
Kajian yang bersifat multidisipliner ini tentunya juga menjamin validitas dan
reliabilitas suatu teori lebih mantap. Inilah yang dimaksudkan oleh Imre
Lakatos dalam program risetnya. Yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak
ilmiah bukanlah teori tunggal, tetapi rangkaian teori-teori. Rangkaian
teori-teori ini sendiri satu sama lain dihubungkan oleh suatu kontinuitas
yang menyatukan teori tersebut menjadi program-program riset.
Pada
dataran aksiologis bentuk operasionalitas dialog antar ilmu ini tentunya berupa
pengkaitan kembali strategi pemilihan teori atau ilmu pengetahuan dengan
pertimbangan-pertimbangan nilai, baik nilai intriksi yang terdapat inherent
dengan tuntutan logika keilmuan, maupun nilai instrumental yang terkait dengan
fakta humanitas dimana kajian keilmuan ini dilaksanakan. Pengkaitan antara
pemilihan teori dengan pertimbangan nilai dengan sendirinya akan memiliki efek
praksis bagi struktur budaya manusia. Sikap inilah yang sejak awal diupayaan
oleh madzhab Frankfurt.
Meskipun
upaya ini berangkat dari kritik mereka terhadap kecenderungan dominasi semangat
positivisme dalam kajian keilmuan terutama ilmu-ilmu sosial. Namun implikasi
metodis mereka memberikan penekanan bahwa ilmu pengetahuan harus
mempertimbangkan nilai-nilai praksisnya. Teori tidak dapat dilepaskan dari
praksis dan bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Atau menurut
Habermas, sikap teoritis selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan
manusiawi yang tertentu.
Hal
senada juga diberikan oleh Herbert Mercuse dalam karyanya “One-Dimensional
Man” , bahwa ilmu pengetahuan dan teknik harus diberi suatu arah lain atau
suatu tujuan lain, yaitu the pacification of existence, dengan itu
dimaksudkan Mercuse perdamaian dan kebebasan yang sejati. Tetapi hal itu
mengandaikan bahwa rasio sendiri akan berfungsi secara lain. Rasio harus
meninggalkan logika penguasaannya dan mulai memajukan seni hidup.
4. Dialog
Ilmu Pengetahuan (Sains) Dan Islam
Terdapat sejumlah permasalahan yang barangkali perlu untuk diketengahkan
sehubungan dengan sikap para agamawan pada umumnya dan dalam hal ini Islam pada
khususnya terhadap keberadaan sains dan teknologi. Permasalahan tersebut
bermuara pada persoalan bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk sekular yang
dikembangkan (kebanyakan) oleh ilmuwan Barat yang berlatar belakang
imperialisme tentunya memiliki implikasi-implikasi yang membahayakan umat
beragama terutama Islam. Jika dipaksakan bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan
produk sekular, maka bagaimanakah jika terjadi pertentangan antar keduanya?,
Apakah keyakinan Islam secara menyeluruh sejalan dengan ilmu alam atau
apakah ada pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara sistem metafisika
yang berdasarkan iman dan kemampuan akal dengan sistema berdasarkan
keingintahuan empiris?. Persoalan-persoalan inilah yang selalu menjadi renungan
para filsuf dan teolog Islam sejak lebih dari seribu tahun yang lalu hingga
dewasa ini. Persoalan ini terus bergema dan mengundang debat panjang serta
perselisihan. Bahkan adu argumentasi antara para pembaharu, kaum modernis dan
kaum muslim ortodoks tentang kesesuaian Islam dan sains ini, sudah hampir mencapai
titik jenuh.
Untuk
memulai upaya memahami perkembangan sains dalam format dialog antar ilmu ini,
tentunya kita memerlukan pengertian dasar tentang kegiatan ilmiah -
misalnya fislafat dan modus operandi sains, ketergantungan sains pada alam dan
kualitas sistem pendidikan, kumpulan ide-ide dan nilai-nilai yang
ditumbuhkannya, yang pada gilirannya merupakan hal utama jika disadari bahwa
kebudayaan Islam sulit melepaskan diri dari ikatan masa silam. Karena itu,
setiap analisis serius mengenai keadaan sains sekarang membutuhkan pemahaman
yang dalam tentang bagaimana sains memasuki peradapan Islam dan tumbuh subur
didalamnya selama hampir lima abad.
Sementara
itu dialog antara sains dengan Islam dalam kenyataan kontemporer menjadi suatu
keharusan yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Tentu saja keharusan ini
selain dilatarbelakangi oleh pengembangan produk ilmu pengetahuan guna
mendukung pemahaman kita terhadap pesan-pesan wahyu Allah, juga tidak kalah
pentingnya adalah kenyataan kebudayaan dan peradaban umat Islam sendiri yang
masih memprihatinkan. Tentu saja dialog yang dikehendaki ini masih dalam
batas-batas yang tidak merombak secara fundamental kepribadian keislaman.
Dengan demikian, dialog nanti tentunya bertujuan untuk lebih memperkaya wawasan
pemahaman umat Islam sendiri terhadap pesan-pesan keagamaannya.
Adapun
dialog yang terjadi antara ilmu pengetahuan (sains) dan Islam, yang selama ini
telah dilaksanakan, yakni sejak pada abad IX , memiliki tiga kecenderungan
sikap dan bentuk. Sikap dan bentuk restorasionis, rekonstruksionis, dan
pragmatis. Sikap dan bentuk restorasionis mencoba memulihkan beberapa versi
ideal di masa lampau, dan menyebutkan semua kegagalan dan kekalahan merupakan
penyimpangan dari jalan yang lurus. Sikap ini menggemakan perang suci melawan
gagasan sekular, rasionalisme dan universialisme.
Menurut
sikap ini ilmu pengetahuan jelas terbatas; ilmu pengetahuan berisikan tentang
apa saja yang telah diwahyukan. Karenanya, bagi sikap ini setiap perkembangan
dalam ilmu pengetahuan berarti penemuan tafsiran baru mengenai kitab suci.
Bahkan kelompok ini seringkali mengklaim bahwa setiap
penemuan
baru dalam sains modern telah lama ada antisipasinya dalam kitab suci.
Sebaliknya bertentangan dengan sikap dan bentuk restorasionis adalah sikap
rekonstruksionis. Sikap rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali
keimanan untuk mendamaikan tuntutan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi
Islam. Bentuk dan sikap kelompok ini menyatakan bahwa Islam selama periode
kehidupan Rasulullah dan Khulafa al-Rasydin bersifat revolusioner, liberal dan
rasional. Masa setelah itu condong pada kekakuan dan dogmatisme reaksioner yang
terus melemah akibat dari keberhasilan taqlid (tradisi) atas ijtihad (inovasi).
Sikap kelompok ini sangat responsif terhadap perkembangan sains dan teknologi
yang ada. Dan bahkan mereka menyandarkan kepada optimisme yang berlebihan
kepada kemajuan yang telah dicapai oleh Barat. Kaum Muslim akan hancur bila
mereka tetap bertahan menolak peradaban dan pengetahuan sekular. Seorang
ilmuwan yang secara konsisten menggunakan peralatan dan teknik-teknik sains
modern, walaupun dia seorang penganut Islam yang taat, tak pelak lagi akan
menghancurkan struktur agama Islam.
Sementara
sikap metodis Ziauddin Sardar bersandar pada argumentasi bahwa pencaharian
sains yang Islami adalah kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum muslim
dewasa ini. Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak
saja karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologisnya secara
mendasar bertentangan dengan pandangan Islam. Sikap ini senada dengan yang
dikemukakan oleh Ismail Faruqi, bahwa umat Islam harus menguasai semua disiplin
keilmuan modern, memahami disiplin keilmuan tersebut dengan sempurna dan
merasakan itu sebagai sebuah perintah yang tidak bisa ditawar-tawar bagi mereka
semua. Itulah prasyarat yang utama. Setelah itu, mereka harus mengintegrasikan
pengetahuan baru tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan
eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap
komponen-komponennya sebagai world views Islam dan menetapkan nilai-nilainya.
Namun
berbeda dengan al-Faruqi, yang menyarankan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan
menuntut kita untuk menetapkan hubungan khusus Islam dengan masing-masing ilmu
pengetahuan modern. Ziauddin Sardar sebaliknya menyatakan bahwa apa yang
dikemukakan oleh al-Faruqi justru terbalik, bukan Islam yang mesti dijadikan
relevan dengan pengetahuan modern tetapi justru pengetahuan modernlah yang
mesti dijadikan relevan dengan agama Islam.
5. Penutup
Demikianlah deskripsi singkat tentang dialog antar ilmu yang dapat
direpresentasikan dalam forum ini. Tentu saja keseluruhan uraian di muka
tersebut terasa belum cukup memadai untuk memberikan pemahaman kita secara
komprehensif tentang detail-detail dialog termaksud. Hal ini perlu dimaklumi
lebih awal, karena dialog ini memiliki dimensi yang sangat dalam dan luas
sekali. Sehingga upaya untuk meringkasnya seperti dalam makalah ini terkesan
karikaturistik sekali.
———
Sekian ———-
DAFTAR PUSTAkA
Anshari, Endang Saifuddin.Ilmu, Filsafat,
dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu Surabaya,1983Bertens, Kees. Filsafat
Barat Abad XX (Inggris-Jerman).Jakarta: PT. Gramedia,1983.Chalmers, A.F.Apa
Itu Yang Dinamakan Ilmu,Terj. Hasta Mitra .Jakarta: Hasta
Mitra,1983.Hoodboy, Pervez. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Antara Sains
Dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia. Bandung: Mizan,1996.
Jacob,
T.Manusia, Ilmu dan Teknologi .Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1988.
Liang
Gie, The. Konsepsi Tentang Teknologi .Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu Dan
Teknologi,1984.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,1996. Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, Filsafat Ilmu .Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta,
1996.Verhaak, C. dan Imam, R. Haryono.Filsafat Ilmu Pengetahuan (Telaah Atas
Cara Kerja Ilmu-Ilmu). Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama,1995