Jumat, 29 November 2013

Makalah Filsafat





KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Dialog filsuf muslim dan filsuf barat (dialog antar ilmu”. Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah FILSAFAT.
            Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada bapak Drs. Muallim Mukhtar, S.Ag., SE., M.Pd selaku dosen serta teman-teman semua.
            Penyusun menyadari keterbatasan  sebagai manusia. Makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penyusun berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan makalah ini. Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.



Tangerang, 20 Oktober 2013


                                                                                                Penulis






DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR …………………………………………………………………….
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………

 
BAB I. DIALOG FILSUF MUSLIM DAN FILSUF BARAT
             (Dialog Antar Ilmu)
1.1     Pendahuluan ………………………………………………………………………….
1.2     Kemungkinan-Kemungkinan Menuju Dialog ……………………………………….
1.3     Bentuk Dialog Antar Ilmu  ….……………………………………………………….
1.4   Dialog Ilmu Pengetahuan (sains) dan Islam …………………………………………
    
BAB II. PENUTUP……………………………………………………………….………
BAB III. DAFTTAR PUSTAKA………………………………………………………….
                         
Dialog Antar Ilmu


1. Pendahuluan
Sebagaimana diketahui ilmu pengetahuan sebenarnya merupakan proses kesadaran manusia yang memiliki karakter tersendiri. Dikatakan memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, oleh karena proses kesadaran ini yang semula berjalan secara spontan dan langsung tiba-tiba menggumpal dalam pusaran reflektif, sedemikian rupa sehingga serpihan-serpihan data sensorial yang semula berserakan (raw data) tanpa struktur tiba-tiba tersusun menjadi ornamen pengetahuan yang sistematis dan teruji.
 Tentu saja bila kita kaji lebih dalam lagi, proses sistematisasi ini melibatkan aparat kognisi terutama untuk mengatur arus penalaran logis. Sedemikian rupa sehingga data-data empiris yang memperoleh status premis-premis akan dimasukkan ke gerbong proposisi-proposisi untuk selanjutnya diantarkan menuju ke terminal kesimpulan yang tepat dan benar.
 Dengan melalui perkembangan evolusitnya, ilmu pengetahuan kemudian berjalan menuju kutub-kutub diversifitas yang saling menjauh untuk kemudian menduduki orbit spesialisasi-spesialisasi yang bersifat parsial. Konfigurasi peta sains dan teknologi ini pada akhirnya terfragmentasi ke dalam kepingan-kepingan metodologis tersendiri. Tentu saja keadaan ini pada gilirannya akan membawa resiko terhadap wawasan dan cakrawala pandang manusia, sedemikian rupa sehingga implikasi logisnya akan menciptakan potret eksistensi manusia yang teralienasikan.
Dari sisi lain, sains dan teknologi yang semula dimaksudkan untuk melayani kebutuhan manusia, malah justru sebaliknya memperbudak manusia sendiri. Mula-mula dengan ilmu pengetahuan teknologi, manusia hendak menguasai alam dan sampai batas-batas tertentu ia berhasil, tetapi ia lupa bahwa ia sendiri adalah bagian dari alam dan turut terkuasai oleh ilmu pengetahuan. Teknologi berkembang sendiri dan makin terpisah dari serta jauh meninggalkan agama dan etika, hukum, ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Manusia makin dilihat terfragmentasi, dan mesin makin dominan dalam kehidupan manusia. Berbagai macam problem timbul dalam berbagai bidang, misalnya ekonomi, ekologi, energi, kesehatan, persenjataan, kekerasan, pengangguran dan lain-lain.
Oleh karenanya wajar jika ketegangan global terutama terjadinya technostress, technoanxiety dan lain sebagainya secara tidak langsung bersumber pada implikasi dan aplikasi wawasan keilmuan yang bersifat parsial dan segmentaristik ini. Kenyataan ini pada gilirannya tanpa disadari telah memisahkan misi suci keilmuan dari benua humanitas. Oleh karena itu menjadi cukup urgens jika dialog antar ilmu segera diselenggarakan.
Selaras dengan upaya dialog antar ilmu tersebut, maka makalah ini mencoba mengkaji, sejauh mana kemungkinan terjadinya dialog tersebut?, jika mungkin, bagaimana bentuk dialog tersebut terjadi?, serta bagaimana implikasi dialog tersebut terutama bagi wawasan keilmuan Islam?.



2. Kemungkinan-Kemungkinan Menuju Dialog
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dialog antar ilmu menjadi agenda jaman yang paling urgens untuk segera diselenggarakan. Hal ini tentunya terkait dengan kenyataan yang ada dewasa ini, dimana dengan semakin maraknya perkembangan sains dan teknologi nilai-nilai humanitas secara ironis kehilangan signifikansinya. Lalu ilmu pengetahuan yang begitu pesat akan meninggalkan teknologi lunak jauh di belakang teknologi keras. Perkembangan peralatan, perkakas instrumen, arsifak dan informasi per kapita begitu cepat, sehingga hukum, etika, agama dan kebijakan politik akan ketinggalan, demikian pula adaptasi prilaku manusia. Sesuatu yang baru ditemukan dalam laboratorium atau baru diumumkan dalam forum ilmiah dengan segera dapat diterapkan dalam masyarakat. Lolos dari laboratorium dapat berakibat lepas dari kendali para ilmuwan sendiri, padahal etika, hukum dan kebijakan umum belum siap mengendalikannya. Hal ini yang menggelisahkan para ahli yang sempat merenungkan evolusi ilmu di masa yang akan datang.
Lepasnya teknologi dari laboratorium juga dapat mendehumanisasi manusia. Teknologi makin terpusat dan dalam skala besar, sehingga konsumen tidak banyak lagi pengaruhnya terhadap proses produksi atau produsen. Makin maju ilmu pengetahuan, makin terspesialisasi, dan tiap-tiap spesialisasi hanya mengenal dirinya sendiri semakin mendalam, tetapi tidak banyak  mengetahui tentang hal-hal yang lain diluarnya. Hal ini memfragmentasi manusia dan kehidupannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi juga dapat mengganti kedudukan manusia sebagai pekerja dan individu yang utuh, karena pekerjaan rutin akan dikerjakan oleh mesin dengan lebih teliti, lebih cepat dan lebih berani. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mempunyai akibat sampingan yang tidak terduga dan membahayakan, misalnya pencemaran, kerusakan lingkungan, termasuk angkasa, karena intervensi dan eksploitasi yang disengaja terhadap lingkungan yang berulang-ulang dan secara besar-besaran.
Kenyataan inilah yang membuat dialog antar ilmu menjadi mendesak untuk diselenggarakan. Meskipun demikian, tentunya agenda ini memerlukan landasan yang memberikan kemungkinan bagi diadakannya dialog tersebut. Sedemikian rupa sehingga landasan asumsi ini dapat memberikan kejelasan bagi pola operasionalisasi dialog tersebut. Adapun landasan asumtif termaksud tentunya harus berangkat dari sistem keilmuan itu sendiri, yang pada dasarnya dapat dikembalikan pada tiga komponennya, yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Landasan ontologis berkaitan dengan materi yang menjadi obyek penelaah ilmu. Berdasarkan obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris. Karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pancaindera manusia. Adapun relevansinya bagi kemungkinan untuk dapat diadakan dialog antar ilmu dapat dikatakan bahwa meskipun ilmu berlainan dengan bentuk-bentuk pengetahuan lainnya, tampaknya masih terikat oleh landasan asumtif ontologis bahwa diseberang kesadaran diri manusia terdapat realitas empirik yang terbentang tanpa tergantung pada subyektifitasnya. Asumsi ini biasanya dijadikan postulasi guna memberi landasan ontologis keilmuan, bahwa:
 (1) Dunia itu ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada. Dalam ilmu pengetahuan asumsi ini berarti bahwa adanya “dunia empiris” diterima begitu saja secara apriori.  Setelah ilmu menerima kebenaran eksistensi dunia empiris ini, barulah ilmu mengajukan pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut, seperti misalnya: “Bagaimanakah dunia empiris alam dan sosial itu tersusun?”, dan lain-lain.
 (2) Dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera.  Dalam ilmu pengetahuan satu-satunya jalan untuk mendapatkan pengetahuan adalah melalui pancaindera atau mungkin alat-alat ekstension lainnya sebagai gantinya.
 (3) Fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama lain secara kausal. Berdasarkan atas postulat bahwa fenomena-fenomena di dunia ini saling berhubungan secara kausal, maka ilmu pengetahuan mencoba untuk mencari dan menemukan sistem, struktur, organisasi, pola-pola dan kaidah-kaidah dibelakang fenomena-fenomena itu, dengan jalan menggunakan metode ilmiahnya.
 Landasan epistemologis, berkaitan dengan masalah proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Proses ini biasanya disebut sebagai metode ilmiah.Yakni, suatu proses yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Dalam relevansinya terhadap kemungkinan dialog antar ilmu, dapat dikatakan bahwa meskipun setiap disiplin ilmu pengetahuan memiliki obyek kajian yang berbeda satu dengan lainnya (obyek materialnya) dan bahkan mungkin memiliki spesifikasi penekanan metodis yang berbeda (obyek formalnya). Namun mereka tidak dapat dilepaskan dari prosedur ilmiah yang bersifat umum, yakni: penentuan masalah, perumusan dugaan sementara, pengumpulan data, perumusan kesimpulan dan verifikasi hasil.
Adapun landasan aksiologis berkaitan dengan manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya. Ketika ilmu pengetahuan mulai diterapkan ke dalam lingkungan biome khususnya kebudayaan manusia, maka ilmu tidak lagi bersifat netral. Memang persoalan apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai atau sebaliknya  bermuatan nilai masih diperdebatkan. Bagi ilmuwan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya bebas nilai, ia menyandarkan pertimbangan nilai hanya pada nilai kebenaran dan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan nilai metafisika lainnya, seperti nilai etik, kesusilaan, dan kegunaannya akan sampai pada prinsip bahwa ilmu pengetahuan harus bebas nilai.
Sementara pada ilmuwan yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak bebas nilai, berargumentasi bahwa para ilmuwan yang mengembangkan ilmu pengetahuan adalah produk dari suatu kebudayaan tertentu yang tidak bisa dielakkan. Dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan tidak menutup kemungkinan para ilmuwan dipengaruhi oleh gaya pikir (thought style) yang berlaku umum pada zamannya dan diwilayahnya. Dalam mengamati dengan obyektif sesuatu dalam lingkungan terjadi hubungan atau interaksi tertentu antara pengamat dan obyek, yang membuat pengamatan itu menjadi subyektif. Dengan singkat, observasi bermuatan budaya, dan budaya berevolusi bersama dengan manusia pendukungnya. Observasi terjadi dalam matrik kultural, dalam anyaman keyakinan dan persangkaan.
  Adapun relevansi terhadap kemungkinan diadakan dialog antar ilmu, maka dapat dikatakan landasan ini memiliki asumsi yang kuat sekali bahwa bagaimanapun ilmu pengetahuan dikembangkan oleh manusia yang memiliki karsa, rasa dan cipta yang segala keputusannya pasti bermuatan nilai, sedemikian juga penerapan ilmu pengetahuan pun demi untuk memenuhi tuntutan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri yang dalam segenap ekspresi hidup dan kehidupannya senantiasa terlandasi oleh tata nilai.

3. Bentuk Dialog Antar Ilmu
Dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang melandasi bagi berlangsungnya dialog antar ilmu tersebut diatas, maka bentuk dialog tersebut barangkali dapat bermuara pada: pertama, pada dataran epistemologis ; dan kedua, pada dataran aksiologis. Pada dataran epistemologis, bentuk operasionalitas dialog tersebut dapat berupa penggunaan pendekatan metodis yang bersifat interdisipliner terhadap suatu obyek kajian. Dalam kajian yang bersifat interdisipliner ini, maka masing-masing pendekatan dikoordinasikan dalam sektor suplementer. Sehingga dengan kajian yang bersifat koordinatif ini pengethuan kita terhadap obyek kajian menjadi lebih exhaustive dan comprehensive. Kajian dengan pendekatan multidisipliner ini untuk menghindari dominasi memtodis dari salah satu disiplin ilmu tertentu, sehingga keberadaan ilmu yang lain diabaikan. Menerima superioritas ilmu atas bentuk-bentuk pengetahuan lainnya berarti membenarkan perbudakan terselubung. Hal inilah yang ditentang keras oleh  Paul Feyerabend dalam konsepnya tentang anarkhisme metodis.  Bahwa ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya bentuk pengetahuan yang paling unggul dibanding dengan bentuk-bentuk lainnya. Seperti halnya Thomas Kuhn, maka Feyerabend pun mendasarkan sikapnya kepada argumentasi bahwa ilmu-ilmu atau teori-teori tidak bisa saling diukur dengan standar yang sama. [9] Kajian yang bersifat multidisipliner ini tentunya juga menjamin validitas dan reliabilitas suatu teori lebih mantap. Inilah yang dimaksudkan oleh Imre Lakatos dalam program risetnya. Yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, tetapi rangkaian teori-teori. Rangkaian teori-teori  ini sendiri satu sama lain dihubungkan oleh suatu kontinuitas yang menyatukan teori tersebut menjadi program-program riset.
Pada dataran aksiologis bentuk operasionalitas dialog antar ilmu ini tentunya berupa pengkaitan kembali strategi pemilihan teori atau ilmu pengetahuan dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, baik nilai intriksi yang terdapat inherent dengan tuntutan logika keilmuan, maupun nilai instrumental yang terkait dengan fakta humanitas dimana kajian keilmuan ini dilaksanakan. Pengkaitan antara pemilihan teori dengan pertimbangan nilai dengan sendirinya akan memiliki efek praksis bagi struktur budaya manusia. Sikap inilah yang sejak awal diupayaan oleh madzhab Frankfurt.
Meskipun upaya ini berangkat dari kritik mereka terhadap kecenderungan dominasi semangat positivisme dalam kajian keilmuan terutama ilmu-ilmu sosial. Namun implikasi metodis mereka memberikan penekanan bahwa ilmu pengetahuan harus mempertimbangkan nilai-nilai praksisnya. Teori tidak dapat dilepaskan dari praksis dan bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Atau menurut Habermas, sikap teoritis selalu diresapi dan dijuruskan oleh kepentingan manusiawi yang tertentu.
Hal senada juga diberikan oleh Herbert Mercuse dalam karyanya “One-Dimensional Man” , bahwa ilmu pengetahuan dan teknik harus diberi suatu arah lain atau suatu tujuan lain, yaitu the pacification of existence, dengan itu dimaksudkan Mercuse perdamaian dan kebebasan yang sejati. Tetapi hal itu mengandaikan bahwa rasio sendiri akan berfungsi secara lain. Rasio harus meninggalkan logika penguasaannya dan mulai memajukan seni hidup.

4. Dialog Ilmu Pengetahuan (Sains) Dan Islam
Terdapat sejumlah permasalahan yang barangkali perlu untuk diketengahkan sehubungan dengan sikap para agamawan pada umumnya dan dalam hal ini Islam pada khususnya terhadap keberadaan sains dan teknologi. Permasalahan tersebut bermuara pada persoalan bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk sekular yang dikembangkan (kebanyakan) oleh ilmuwan Barat yang berlatar belakang imperialisme tentunya memiliki implikasi-implikasi yang membahayakan umat beragama terutama Islam. Jika dipaksakan bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan produk sekular, maka bagaimanakah jika terjadi pertentangan antar keduanya?, Apakah keyakinan Islam secara menyeluruh sejalan dengan ilmu alam atau  apakah ada pertentangan yang tidak dapat didamaikan antara sistem metafisika yang berdasarkan iman dan kemampuan akal dengan sistema berdasarkan keingintahuan empiris?. Persoalan-persoalan inilah yang selalu menjadi renungan para filsuf dan teolog Islam sejak lebih dari seribu tahun yang lalu hingga dewasa ini. Persoalan ini terus bergema dan mengundang debat panjang serta perselisihan. Bahkan adu argumentasi antara para pembaharu, kaum modernis dan kaum muslim ortodoks tentang kesesuaian Islam dan sains ini, sudah hampir mencapai titik jenuh.
Untuk memulai upaya memahami perkembangan sains dalam format dialog antar ilmu ini, tentunya kita memerlukan pengertian dasar tentang kegiatan ilmiah  -  misalnya fislafat dan modus operandi sains, ketergantungan sains pada alam dan kualitas sistem pendidikan, kumpulan ide-ide dan nilai-nilai yang ditumbuhkannya, yang pada gilirannya merupakan hal utama jika disadari bahwa kebudayaan Islam sulit melepaskan diri dari ikatan masa silam. Karena itu, setiap analisis serius mengenai keadaan sains sekarang membutuhkan pemahaman yang dalam tentang bagaimana sains memasuki peradapan Islam dan tumbuh subur didalamnya selama hampir lima abad.
Sementara itu dialog antara sains dengan Islam dalam kenyataan kontemporer menjadi suatu keharusan yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Tentu saja keharusan ini selain dilatarbelakangi oleh pengembangan produk ilmu pengetahuan guna mendukung pemahaman kita terhadap pesan-pesan wahyu Allah, juga tidak kalah pentingnya adalah kenyataan kebudayaan dan peradaban umat Islam sendiri yang masih memprihatinkan. Tentu saja dialog yang dikehendaki ini masih dalam batas-batas yang tidak merombak secara fundamental  kepribadian keislaman. Dengan demikian, dialog nanti tentunya bertujuan untuk lebih memperkaya wawasan pemahaman umat Islam sendiri terhadap pesan-pesan keagamaannya.
Adapun dialog yang terjadi antara ilmu pengetahuan (sains) dan Islam, yang selama ini telah dilaksanakan, yakni sejak pada abad IX , memiliki tiga kecenderungan sikap dan bentuk. Sikap dan bentuk restorasionis, rekonstruksionis, dan pragmatis. Sikap dan bentuk restorasionis mencoba memulihkan beberapa versi ideal di masa lampau, dan menyebutkan semua kegagalan dan kekalahan merupakan penyimpangan dari jalan yang lurus. Sikap ini menggemakan perang suci melawan gagasan sekular, rasionalisme dan universialisme.
Menurut sikap ini ilmu pengetahuan jelas terbatas; ilmu pengetahuan berisikan tentang apa saja yang telah diwahyukan. Karenanya, bagi sikap ini setiap perkembangan dalam ilmu pengetahuan berarti penemuan tafsiran baru mengenai kitab suci. Bahkan kelompok ini seringkali mengklaim bahwa setiap
penemuan baru dalam sains modern telah lama ada antisipasinya dalam kitab suci. Sebaliknya bertentangan dengan sikap dan bentuk restorasionis adalah sikap rekonstruksionis. Sikap rekonstruksionis secara esensial menafsirkan kembali keimanan untuk mendamaikan tuntutan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam. Bentuk dan sikap kelompok ini menyatakan bahwa Islam selama periode kehidupan Rasulullah dan Khulafa al-Rasydin bersifat revolusioner, liberal dan rasional. Masa setelah itu condong pada kekakuan dan dogmatisme reaksioner yang terus melemah akibat dari keberhasilan taqlid (tradisi) atas ijtihad (inovasi). Sikap kelompok ini sangat responsif terhadap perkembangan sains dan teknologi yang ada. Dan bahkan mereka menyandarkan kepada optimisme yang berlebihan kepada kemajuan yang telah dicapai oleh Barat. Kaum Muslim akan hancur bila mereka tetap bertahan menolak peradaban dan pengetahuan sekular. Seorang ilmuwan yang secara konsisten menggunakan peralatan dan teknik-teknik sains modern, walaupun dia seorang penganut Islam yang taat, tak pelak lagi akan menghancurkan struktur agama Islam.
Sementara sikap metodis Ziauddin Sardar bersandar pada argumentasi bahwa pencaharian sains yang Islami adalah kewajiban paling mendesak yang dihadapi kaum muslim dewasa ini. Menurutnya, apa yang disebut sains Barat jelas tidak sesuai. Tidak saja karena penerapannya berbahaya tetapi juga karena epistemologisnya secara mendasar bertentangan dengan pandangan Islam. Sikap ini senada dengan yang dikemukakan oleh Ismail Faruqi, bahwa umat Islam harus menguasai semua disiplin keilmuan modern, memahami disiplin keilmuan tersebut dengan sempurna dan merasakan itu sebagai sebuah perintah yang tidak bisa ditawar-tawar bagi mereka semua. Itulah prasyarat yang utama. Setelah itu, mereka harus mengintegrasikan pengetahuan baru tersebut ke dalam keutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan penyesuaian terhadap komponen-komponennya sebagai world views Islam dan menetapkan nilai-nilainya.
Namun berbeda dengan al-Faruqi, yang menyarankan Islamisasi ilmu pengetahuan dengan menuntut kita untuk menetapkan hubungan khusus Islam dengan masing-masing ilmu pengetahuan modern. Ziauddin Sardar sebaliknya  menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh al-Faruqi justru terbalik, bukan Islam yang mesti dijadikan relevan dengan pengetahuan modern tetapi justru pengetahuan modernlah yang mesti dijadikan relevan dengan agama Islam.


 5. Penutup
Demikianlah deskripsi singkat tentang dialog antar ilmu yang dapat direpresentasikan dalam forum ini. Tentu saja keseluruhan uraian di muka tersebut terasa belum cukup memadai untuk memberikan pemahaman kita secara komprehensif tentang detail-detail dialog termaksud. Hal ini perlu dimaklumi lebih awal, karena dialog ini memiliki dimensi yang sangat dalam dan luas sekali. Sehingga upaya untuk meringkasnya seperti dalam makalah ini terkesan karikaturistik sekali.
  
——— Sekian ———-




 

DAFTAR PUSTAkA
 Anshari, Endang Saifuddin.Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu Surabaya,1983Bertens, Kees. Filsafat Barat Abad XX (Inggris-Jerman).Jakarta: PT. Gramedia,1983.Chalmers, A.F.Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu,Terj. Hasta Mitra .Jakarta: Hasta Mitra,1983.Hoodboy, Pervez. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, Antara Sains Dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia. Bandung: Mizan,1996.
Jacob, T.Manusia, Ilmu dan Teknologi .Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1988.
Liang Gie, The. Konsepsi Tentang Teknologi .Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu Dan Teknologi,1984.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,1996. Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu .Yogyakarta: Penerbit Liberty Yogyakarta, 1996.Verhaak, C. dan Imam, R. Haryono.Filsafat Ilmu Pengetahuan (Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu). Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama,1995